Cerpen : Biarkan Rasaku Mengalir PadaNya
Chapter 1
Masih tentang pagi hari. Bagiku pagi
hari adalah awal yang baik untuk memberikan indahnya senyuman dan nikmatnya
kebahagiaan. Pagi
hari adalah awal untuk menyumbang senyum yang terlupakan di hari kemarin, waktu
pagi pula awal yang baik untuk meyusun kerangka kenangan demi kenangan. Hari kemarin adalah sebuah
sejarang yang akan tertuang esok sebagai kenangan.
“Awali Pagimu dengan Senyuman” begitulah hidupku di setiap
pagi. Melupakan segala kesedihan yang terjadi di hari kemarin dan ikut serta menyumbangkan senyuman
untuk mereka orang-orang yang ku temui di setiap lorong kehidupan.
Hari senin awal untukku memulai
segala aktifitas yang tak mungkin bisa ku tinggalkan walaupun hanya satu
kegiatan. Aku adalah seorang gadis yang masih berusia 17 tahun yang masih beranjak
di masa remaja, aku masih menduduki bangku SMA kelas akhir lebih tepatnya
kelas XII. Teman-teman memanggil aku Mentari.
Sebagai seorang pelajar, pagi ini aku siap
meluncur ke sekolah tercinta. Rasanya pagi ini begitu berbeda,
lorong-lorong sekolah masih terlihat begitu sepi. Hanya ada segelintir siswa
yang rajin mengerjakan PR di sekolah, mereka memang sengaja berangkat lebih
awal ke sekolah untuk bekerja sama dengan teman-teman mereka mengerjakan PR.
Mereka menganggap sekolah adalah rumah kedua mereka. Jadi, wajar saja mereka
mengerjakannya di sekolah. Akupun sesekali begitu. hehhe :D
Langkah kakiku terasa begitu ringan
untuk melangkah ke depan entah hari apa ini, entah tanggal berapa dan ada apa
di hari ini. Aku tak begitu perduli, yang aku tau kali ini aku menjadi siswi
yang rajin karena berhasil mengerjakan tugas di rumah bukan di sekolah dan
kali ini aku berhasil lolos dari hukuman guru BK karena aku sering sekali
langganan terlambat. Hari senin yang ajaib bagiku.
Sembari melambai-lambaikan tangan dan
sesekali mengeluarkan nada lirih untuk bernyanyi, tak terasa akupun sampai di
depan kelasku. Tak ada siapa-siapa disana. Hanya ada dia, siswa rajin yang
memang selau datang lebih awal daripada yang lain.
“Assalamu’alaikum” sapaku ......
Namun, aku tak mendengar ia menjawab
salamku. Mungkin ia menjawabnya di dalam hati atau memang tak mendengar salam
yang kuucapkan. Entahlah.. aku tak begitu perduli. Eeiiitttss... jangan anggap
dia adalah orang yang special. Dia adalah temanku. Satu-satunya orang yang ku
sebut teman. Dia memang berbeda dengan yang lain, agak sedikit cuek dan lebih
banyak diam. Kurang lebihnya begitulah ciri khas yang ia miliki.
Kebetulan senin adalah tugasku membersihkan kelas(piket) aku tak terlalu perduli
dengan salam tanpa jawaban. Segera ku ambil sapu yang ada di pojok kelas.
Diapun melakukan hal yang sama. Mengambil sapu lalu membersihkan kelas dengan lugas “aneh.
Dia kan piketnya hari rabu, kenapa dia nyapu. Ahh tidak-tidak. Mungkin dia
memang suka bersih. Tari tetap jaga hati. Jangan berpikir yang aneh-aneh. Nanti
kalau baper siapa mau nolong? Sekolah Tari, bukan cari sensasi di sekolah.
Harus cari ilmu dan komitmen pada tujuan” begitu gumamku dalam hati. Seiring
dengan aku yang menyapu, teman-teman silih berganti berdatangan. Usai aku
menyapu tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Pas sekali.
neg neng nong neng. Neng neng nong
neng nong neng... bunyi bel sekolahku.
Kali ini jam
pertama di temani dengan bahasa indonesia. Segar rasanya, pagi-pagi mendapat
ilmu dari guru cantik, lembut dan pengertian seperti bu Anun guru favoritku.
Kali ini babnya tentang Drama. “anak anak, kelas ini akan terbagi menjadi 2
kelompok. Absen 1-15 kelompok 1 dan absen 15-30 kelompok 2. Silahkan kalian
membuat film dengan tema cerita rakyat” begitu ucap beliau sebelum meninggalkan
kelas karena bel jam ke 3 telah berbunyi. “aduh.. satu kelompok” lirihku pada
sahabatku.
Setelah bu Anun keluar, tiba-tiba
“hem hem..ciie yang tadi datangnya
awal. Ada apa,,Tari? Tumben datang pagi? Janjian ya? Emang sudah jadian? Sama dia
kan? Kapan? Kita kok gak tau? Cerita dong kronologisnya. Pas banget pilih
tanggal. Tanggal 13 loe. Tanggal kelahiranmu kan” cerocos ketiga sahabatku
dengan suara yang lantang sehingga teman-teman kelasku mendengar ocehan-ocehan
mereka.
“ciiee si Tari sudah jadian yaa”
spontan teman-teman menaggapi ocehan ketiga sahabatku.
“maksud kalian apa? Siapa yang jadian?”
terpaksa aku menjawab ejekan ketiga sahabatku itu.
Shilvi, lina dan eko berhasil membuat kelas
menjadi ramai semacam ibu-ibu menawarkan dagangannya pada pembeli. Ramai
sekali.
Selang beberapa waktu
“Mentari, sore nanti kita mau
membahas film yang akan kita kerjakan” tiba-tiba saja dia menghentikan
keramaian itu walau hanya dalam hitungan detik.
“hem? Oh iya pulang sekolah kan?” jawabku yang
agak tergesa-gesa karena kaget.
“iya” singkatnya
“emm.. kita pergi dulu ya Tari, takut
ganggu. Selamat menikmati hari jadiannya ya. Ayo kita keluar dulu teman-teman.
Tadi bu ika izin katanya ada rapat” pinta indah kepada teman-teman di kelas.
Aku kadang sedikit heran kepada
mereka, mereka selalu bilang kalau mereka adalah sahabatku. Lantas mengapa
mereka membiarkanku berduaan dengan dia. Bukankah itu tidak boleh. Mengapa
mereka melepasku berduaan dengan teman lelakiku. Setidaknya sahabat tidak
mendukungku untuk melakukan yang salah. Seharusnya sahabat saling menegur untuk
kebaikan. Bukan membiarkan sahabatnya dalam lubang kemaksiatan. Aku tauu, mereka bahagia karena aku bisa
bersama dengan dia yang ku anggap teman. Mungkin karena aku yang selalu
bercerita bahwa dialah laki-laki yang aku sampaikan dalam sujud dan doaku.
Namun, bukan dengan cara ini. Bukan dengan berduaan sehingga menimbulkan fikiran
yang tidak-tidak. Memang, di era semacam ini berduaan dengan lawan jenis
dianggap hal yang wajar dan biasa saja. Namun, apakah hukum syari’at menuruti
perubahan zaman. Mengapa zaman tidak beradaptasi dengan kebenaran agama.
Mengapa harus menghilangkan etos keislamannya. Entahlah. Aku tetap bertahan
dengan cinta diamku.
“catatan kecil untukmu, rasa ini
bukan menyambarku secara tiba-tiba. Bukan seperti angin tenang yang membisu.
Semuanya memang terasa biasa saja, awalnya aku yang tak mengenalmu begitupun
engkau yang tak tau siapa aku. Aku mengagumimu sejak lama, sejak awal aku
dipertemukan denganmu. Memang aneh, awalnya aku hanya berpikir mungkin kagum
ini hanya sementara. Namun aku pun tak bisa menolak, dan aku tak pernah bisa
mengelak. 3 tahun aku memendamnya. 3 tahun pula namamu yang setia ku haturkan
kepada Rabbikuu. Namamu yang ku sebut-sebut dengan segala kebaikan. Semuanya
tak semudah yang kau lihat, saat aku harus berpura-pura tak perduli, harus
berpura-pura tak memahami apa-apa yang kau beri. Kau tak kan pernah tau
betapapun aku menceritakannya kepadamu. Kau tak kan pernah tau bagaimana aku harus menahan semua inginku.
Ingin seperti mereka. Namun itu bukan aku.
Saat ini Aku tak berharap
memilikimu, aku takut mengajakmu berdosa denganku, aku takut mengubah imanmu,
aku takut mengubah istiqomahmu. Rasaku adalah tatapan. Menatapmu dibalik
kaca-kaca jendela karena saat ini kita bukan lagi teman sekelas, menatapmu
tertawa dengan mereka para sahabat-sahabat wanitamu. Aku bukan tak punya rasa cemburu, namun
apa hakku mencemburuimu? Lantas aku harus bagaimana dengan sikapmu. Aku
bingung. Aku hanya bisa mengingatmu dan merasa bersamamu lagi dengan ratusan
kenangan yang telah kita lewati 2 tahun yang lalu, aku tak pernah letih menyebut
namamu dalam doaku.
"Tetaplah menjadi temanku. Hingga kelak engkau menjadi teman
dalam hidupku”
(f.r/red)
0 komentar:
Post a Comment