PENYEBAB KEGAGALAN PRODUK ROKOK KRETEK PT. HM SAMPOERNA MEMASUKI PASAR GLOBAL AMERIKA
1. Sejarah Perusahaan PT HM Sampoerna Tbk
Sejarah dan keberhasilan PT HM Sampoerna Tbk. ("Sampoerna") tidak terpisahkan dari sejarah keluarga Sampoerna sebagai pendirinya.
Pada tahun 1913, Liem Seeng Tee, seorang imigran asal Cina, mulai membuat dan menjual rokok kretek linting tangan di rumahnya di Surabaya, Indonesia. Perusahaan kecilnya tersebut merupakan salah satu perusahaan pertama yang memproduksi dan memasarkan rokok kretek maupun rokok putih.
Popularitas rokok kretek tumbuh dengan pesat. Pada awal 1930-an, Liem Seeng Tee mengganti nama keluarga sekaligus nama perusahaannya menjadi Sampoerna, yang berarti ”kesempurnaan”. Setelah usahanya berkembang cukup mapan, Liem Seeng Tee memindahkan tempat tinggal keluarga dan pabriknya ke sebuah kompleks bangunan yang terbengkalai di Surabaya yang kemudian direnovasi olehnya.
Generasi ketiga keluarga Sampoerna, Putera Sampoerna, mengambil alih kemudi perusahaan pada tahun 1978. Di bawah kendalinya, Sampoerna berkembang pesat dan menjadi perseroan publik pada tahun 1990 dengan struktur usaha modern, dan memulai masa investasi dan ekspansi ke luar negeri diantaranya Amerika. Selanjutnya Sampoerna berhasil memperkuat posisinya sebagai salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia.
Keberhasilan Sampoerna menarik perhatian Philip Morris International Inc. (“PMI”), salah satu perusahaan rokok terkemuka di dunia. Akhirnya pada bulan Mei 2005, PT Philip Morris Indonesia, afiliasi dari PMI, mengakuisisi kepemilikan mayoritas atas Sampoerna.
2. Kegagalan Rokok Kretek Sampoerna di Amerika
Kretek tak tertandingi di kandang sendiri dengan menguasai 93% pasar rokok. Di pasar internasional kretek menembus puluhan negara dari Asia, Amerika, dan Eropa. Di Amerika Serikat (AS) ekspor kretek naik sampai 100% dan membuat negeri adikuasa itu langsung menerbitkan Undang-undang Kontrol Tembakau (Tobacco Control Act) yang isinya melarang peredaran kretek. Anehnya produk rokok menthol tidak dilarang. Usut punya usut, ternyata rokok menthol dikuasai oleh produsen dalam negeri AS. Kretek telah berhasil membuat AS, negeri yang katanya adikuasa itu, merasa terancam dan ketakutan, lalu menerbitkan Undang-undang diskriminatif yang mengingkari asas pasar bebasnya sendiri.
Kretek lahir dari industri dengan muatan impor (import content) yang rendah, hanya 4% saja. Selebihnya, 96%, bahan baku dari lokal. Karakter seperti itu membedakan industri kretek dengan industri secara umum di dalam negeri yang muatan impornya tinggi. Statistik ekonomi menunjukkan 70 persen lebih impor Indonesia adalah bahan baku, sisanya barang konsumsi dan barang modal. Karakter seperti itu juga yang membuat industri kretek mempunyai “sistem imun” tinggi terhadap goncangan ekonomi global. Saat badai krisis menghantam di tahun 1998, industri kretek adalah satu dari sedikit industri dalam negeri yang bertahan.
Kretek adalah penyumbang cukai terbesar. Di tahun 2010 ini negara diproyeksikan akan menerima 58,3 triliun dari cukai, sebesar 55,8 triliun berasal dari rokok. Penerimaan cukai dari rokok itu, 93% dibayarkan oleh konsumen kretek. Sebagai catatan, sepanjang tahun 2005-2008 penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai rokok dengan kontribusi rata-rata 97,8 persen, dan rata-rata pertumbuhan 15,2 persen.
Kretek dan industrinya melibatkan puluhan juta orang dan memberi nilai tambah tinggi pada perekonomian. Dari hulu sampai hilir, industri rokok melibatkan 30 juta orang lebih. Bahkan ada data yang menyebut sampai 50,3 juta orang. Dari hulu ke hilir, industri rokok juga memberi nilai tambah tinggi. Berbeda dengan karet, kakao, tambang, dan lain-lain, yang hanya mengekspor bahan mentah sehingga nilai tambahnya dinikmati negara pengimpor. Industri rokok, 90% lebih adalah industri kretek.
Sejak 1990an konspirasi dirajut. Bendera World Health Organization (WHO) dipinjam. Riset didasarkan pesanan. Data, angka, statistik dan estimasi, dimanipulir. Teror bernama sejumlah penyakit dan kematian akibat rokok tumbuh subur. Soal dagang dibelokkan jadi kesehatan. Uang menjelma tuhan. Dalang semua itu adalah industri farmasi AS.
Wanda Hamilton, seorang peneliti independen dan pengajar di tiga universitas terkemuka di AS, membongkar konspirasi industri farmasi AS dengan WHO melalui bukunya Nicotine War (Yogyakarta: INSISTPress, 2010). Menurut Hamilton, propaganda anti rokok merupakan bagian dari marketing industri farmasi. Ia menyebut: “Koneksi yang tidak terbantahkan antara propaganda anti merokok dengan industri farmasi.” Targetnya agar orang berhenti merokok, dan untuk berhenti merokok itu harus ada penanganan atas ketagihan nikotin. Dari situlah terbuka jalan bagi terapi atau obat-obat yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).
Tobacco Dependence, traktat tiga halaman terbitan WHO, menyebut merokok sebagai “wabah pediatri” yang membunuh jutaan anak-anak dan orang dewasa: “Wabah ini diperkirakan akan membunuh 250 juta anak-anak dan orang dewasa yang hidup saat ini, sepertiga dari mereka hidup di negara-negara berkembang.”
Angka 400.000 kematian prematur di Amerika akibat rokok, kata Levy dan Marimont, merupakan estimasi yang di-generated melalui suatu program komputer SAMMEC (Smoking Associated Mortality, Morbidity and Econimic Cost). SAMMEC didasarkan pada model yang salah, mengabaikan semua aturan mengenai epidemiology, dan secara cepat menyimpulkan efek rokok terhadap kematian. Sebagai contoh: jika Joe Smith yang gemuk, punya kolesterol tinggi, diabetes, punya sejarah penyakit jantung dalam keluarga, tidak pernah olahraga, dan…merokok, meninggal karena serangan jantung, maka program SAMMEC akan menyebutkan faktor rokok sebagai penyebab kematian Joe Smith.
Senada dengan Levi dan Marimont, Judith Hatton, co-author buku Murder a Cigarette, mengatakan bahwa pernyataan WHO tentang bahaya merokok tidak lain daripada propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik, estimasi, tidak lebih dari Lies, Damned Lies.
Suara-suara kritis terdampar di ruang hampa. Sebaliknya, kampanye anti rokok makin nyaring dan bertaring dengan bergabungnya sejumlah organisasi mitra. Satu yang cukup heboh adalah Bloomberg Initiative (BI). Michael R. Bloomberg, seorang Yahudi AS, pengusaha kaya raya, walikota New York City tiga periode, adalah tokoh di balik BI. Tahun 2006 ia menggelontorkan 125 dollar AS, lalu 250 dollar AS di tahun 2008, dan bersama Bill Gates, Bloomberg sukses menghimpun donasi gabungan sejumlah 500 dollar AS. Apa kepentingan Bloomberg tidak sulit dibaca, Walikota New York City ini dikabarkan membela mati-matian para eksekutif farmasi yang dikambinghitamkan dalam perdebatan layanan kesehatan. Bill Gates? Ia kini sudah punya saham di industri farmasi.
Bloomberg pula yang menghebohkan Indonesia dengan “sumbangan” hampir 4 miliar rupiah ke organisasi keagamaan Muhammadiyah. Pengusaha Yahudi itu juga menggelontorkan miliaran rupiah ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Dinas Kesehatan Kota Bogor, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan, Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD), Pusat Dukungan Kontrol Tembakau/Tobacco Control Suport Centre, Indonesian Public Health Association (TCSC-IPHA), Komisi Perlindungan Anak Nasional Indonesia (KPAI/ NCCP), Pertemuan Jaringan Kontrol Tembakau Indonesia (NGO) pada 2009, Swisscontact Indonesia Foundation, dan Institut Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sehingga dari bebarapa propaganda, kampanye dan sejumlah peraturan dari Negara AS itu menjadikan produk rokok kretek disana sudah tidak di izinkan untuk dijual ke pasaran lagi.
“…kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia.”
(Mark Hanusz, penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes)
Sehingga menyebabkan, Dua dari tujuh pabrik rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) milik PT HM Sampoerna Tbk tutup karena turunnya permintaan. Namun ternyata, dalam 5 tahun terakhir, banyak pabrik rokok jenis SKT yang tutup dari kalangan Industri rokok kelas menengah-kebawah. Memang dalam kenyataanya, ketika membicarakan rokok ini kita seperti makan buah simalakama, di satu sisi kita mengetahui bagaimana bahaya kesehatan yang ditimbulkan, namun di sisi lain kita juga tidak boleh menutup mata bahwa di 2014 ini masih ada 40 juta lebih rakyat Indonesia yang menggantungkan nafkah hidupnya dari Industri rokok tersebut.
Berdasarkan data BPS, Indonesia adalah negara ketiga pen-konsumsi rokok terbesar dunia setelah China dan India, Jumlah total industri rokok kretek di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 3000 pabrik, dan di 2014 ini tinggal 1970 pabrik.
Berkurangnya secara drastis Industri rokok (skala kecil-menengah) tersebut disebabkan oleh banyak factor seperti didalam negeri, selain semakin kompetitifnya persaingan di pasar, faktor lain adalah semakin ketatnya regulasi pemerintah dalam Industri rokok ini sendiri. Regulasi tentang rokok dewasa ini dimulai dengan, PP Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa produk Tembakau bagi kesehatan yang dikeluarkan pemerintah tahun 2012 kemarin yang mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2003 kemarin. Inilah salah satu faktor utama yang memukul Industri rokok kretek baik yang besar maupun kecil-menengah untuk berhenti melanjutkan produksinya.